SIDOARJO – Sidoarjo kota kecil yang sering tenggelam dalam riuh pembangunan, kini kembali dirundung bisik-bisik. Di antara deretan rumah dan sawah yang membentang, berdiri tembok yang seharusnya menjadi perisai tanah, tetapi justru menjadi tirai yang menutup kisah penuh intrik.
Baca juga :
Polda Jatim Ungkap Kasus Curanmor, Satu Residivis Ditembak Mati
Di Desa Mulyodadi, nama Slamet Priyanto—sang kepala desa—tiba-tiba melayang di udara, dibawa angin gosip yang kian tajam. Proyek Tembok Penahan Tanah (TPT) yang semula digadang-gadang sebagai tameng dari erosi, kini justru menyeretnya dalam pusaran tuduhan. Orang-orang bertanya, apakah proyek ini benar adanya, atau hanya sekadar ilusi yang memperkaya segelintir nama?.
Di balik meja-meja redaksi, pena-pena wartawan mulai menari, menggoreskan kisah tentang proyek ini. Namun, tak lama setelah tinta pertama mengering, muncul bayang lain—siluet seorang wartawan yang datang bukan sebagai pengamat, melainkan sebagai sekutu. Konon, ia membawa tawaran, sebuah jembatan bagi kepala desa untuk menyeberang dari badai kritik menuju perairan yang lebih tenang.
Apakah ini sekadar upaya mencari keadilan, atau justru persekongkolan untuk meredam gema kebenaran?

Seperti naskah hukum yang telah ditulis berabad-abad lalu, negara tak tinggal diam. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah menorehkan sumpah bahwa anggaran desa harus dikelola dengan jujur dan terbuka. Setiap angka yang tertulis dalam laporan keuangan bukan sekadar angka, tetapi janji kepada rakyat.
Lalu, ada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, yang mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah yang bisa menyeret siapa saja ke balik jeruji jika disalahgunakan.
Di sisi lain, dunia pers pun punya kitab sucinya sendiri—Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pena yang seharusnya menjadi pedang kebenaran, tak boleh berkarat oleh kepentingan. Jika benar ada yang memperjualbelikan berita, maka ia telah menggadaikan martabat profesinya sendiri.
Sebuah Panggung yang Akan Menentukan Takdir
Kini, drama ini masih terus berlanjut. Di atas panggung hukum dan keadilan, tokoh-tokoh ini berdiri dengan peran mereka masing-masing. Kepala desa yang diduga mengatur skenario, wartawan yang berbisik di belakang layar, dan masyarakat yang duduk di kursi penonton—menunggu akhir cerita.
Persatuan Wartawan Duta-Pena Indonesia (PWDPI) pun turun tangan, bersiap menyingkap tabir kebenaran. Jika benar ada permainan di balik berita, mereka berjanji tak akan tinggal diam.
Baca juga :
Butuh Informasi atau layanan Pengaduan terkait JKN ? Yuk Simak Caranya
Apakah ini hanya badai sesaat yang akan reda dalam diam, atau awal dari gelombang besar yang akan menghantam siapa pun yang berdiri di atas dasar rapuh? Waktu akan menjawab. Yang pasti, kebenaran tak bisa selamanya disembunyikan di balik tembok. Cepat atau lambat, ia akan menemukan celah untuk keluar—menjadi suara yang tak bisa dibungkam. @red
Penulis : Agus Subakti